Saturday, September 17, 2011

ISTIKOMAH


ISTIKOMAH
Oleh Une Sasmita, S.IP
            Istikomah adalah sikap teguh pendirian untuk tegak berdiri di atas landasan kebenaran. Tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Sikap yang tidak mudah luntur oleh hujan dan tak mudah lekang karena panas. Senantiasa berjalan lurus di atas rel yang benar.
            Salah seorang sahabat Rosulullah s.a.w., Abdullah Ibn Abas dalam sebuah riwayat mengemukakan bahwa apabila kita keluar dari rumah, maka di hadapan kita telah menunggu tujuh ratus macam pintu dosa. Artinya bahwa kita harus senantiasa berhati-hati karena kemaksiatan selalu merongrong di sekitar kita. lewat mata, telinga, tangan, dan anggota badan kita yang lainnya.  Di situlah diperlukan keteguhan dan ketahanan jiwa.
 Sebuah tamsil dari sikap hidup yang tidak mudah goyah oleh rongrongan, godaan, dan gangguan arus kehidupan luar yang  daya tariknya lebih dahsyat dan memikat hati, adalah bagaikan  ikan yang hidup di lautan. Dia setiap saat bergelimang dengan asinnya air laut, tapi tubuhnya tetap tidak menjadi asin. Tamsil itu mengibaratkan keteguhan sikap yang disebut istikomah, yaitu sikap yang komitmen terhadap sesuatu yang diyakini sebagai nilai kebenaran. Keyakinan itulah satu-satunya kekayaan yang paling berharga yang nilainya lebih tinggi daripada harta,  bahkan jiwa sekali pun. Oleh karena itu orang yang istikomah  tidak akan mudah terkena godaan dan rayuan harta duniawi, sebab hal itu bukan menjadi tujuan hidupnya. Tujuan hidupnya adalah sebuah pengabdian kepada sesuatu yang diyakini kebenarannya. Demi keyakinan itulah  hidup dan matinya dipertaruhkan.
Dalam Al Qur’an Allah berfirman, “Dan tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (QS 11 : 112).
Berpegang teguh kepada kebenaran merupakan puncak kemuliaan sebagai fardhu ain yang mutlak  untuk dilaksanakan tanpa syarat, karena sikap istikomah bukan  sikap yang kondisional dan bersyarat, melainkan sikap yang menyeluruh dan universal,  melintasi segala situasi dan kondisi. Dalam sebuah hadis Rosulullah pernah bersabda. “Bertakwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada.” Hal ini menunjukkan bahwa di manapun dan kapanpun, sikap komitmen terhadap kebenaran itu harus tetap dijunjung tinggi bahkan harus diperjuangkan apabila hal itu belum bisa  dicapai secara maksimal.
Akan tetapi desakan kebutuhan dan godaan materi, terkadang  telah banyak meluluhkan  sikap kita. Sikap yang teguh mudah menjadi goyah, kata-kata yang seolah-olah bertuah menjadi hambar, dan keikhlasan pun telah berubah menjadi pamrih yang penuh dengan nuansa kepentingan pribadi. Kita mudah  terpikat oleh indahnya pangkat dan kekuasaan, terkesima oleh gemerlapnya kehidupan dunia, sehingga kebenaran dan keadilan pun berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan.
 Rosulullah pernah bersabda, “Akan datang suatu masa, dimana pada saat itu orang yang memegang teguh agamanya bagaikan memegang bara ( dipegang terus akan membakar tangannya, tapi jika dilepaskan apinya akan mati”)  Betapa bijaknya Rosullullah memprediksikan munculnya sebuah tata kehidupan ummat yang masih membutuhkan tuntunan agama, namun karena kondisi masyarakat yang materialis dan hedonis, maka agama terasa bagaikan sebuah penghalang kebebasan dalam meraih kenikmatan duniawi, karena di dalamnya terdapat batasan halal dan haram. Akhirnya agama menjadi sesuatu yang terkadang dipegang dan terkadang dilepaskan. Kapan harus dipegang, dan kapan harus dilepaskan, tergantung kepada pertimbangan-pertimbangan yang berkonotasi dengan keuntungan materi bagi kepentingan ambisi pribadi. Hanya orang yang istikomah yang akan sanggup hidup bagaikan ikan di lautan yang tubuhnya tidak terkontaminasi oleh  asinnya air laut.  Pada tubuh ikan itu terdapat sebuah organ yang berfungsi sebagai filter yang sanggup menyaring partikel-partikel garam.  Filter pada diri kita adalah iman yang terpatri dalam jiwa.
Patut kita renungkan sebuah sya’ir seorang sastrawan Jawa masa lampau, Ronggowarsito (1802-1873) dalam Serat Kalatida berikut ini:
Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Melu edan ora tahan, Yen tan melu anglakoni, Boya kedumen melik, Kaliren wekasanipun, Dilalah kersa Allah, Bagja-bagjaning kang lali, Luwih bagja kang eling lan waspada.
(Jika mengalami jaman gila, betapa sulitnya mengambil sikap, ikut gila tidaklah tahan nurani, jika tidak ikut melakukan, tidak beroleh bagian rejeki, kelaparan itulah akibat akhirnya, tetapi atas kehendak Allah, semujur-mujurnya orang yang alpa, lebih mujur orang yang beriman dan waspada) Wallahu a’lam.



Friday, September 16, 2011

RISALAH AQIQAH


RISALAH AQIQAH
Pengertian Aqiqah
            Kata aqiqah berasal dari bahasa Arab aqq  yang berarti memotong atau memutus. Ada pula yang mengartikan bahwa aqiqah adalah sebutan terhadap hewan yang disembelih. Disb ut demikian karena memang hewan itu lehernya dipotong.  Ada pula yang mengartikan aqiqah adalah rambur bayi yang dibawa sejak lahir. Karena ambut itu dipotong pula demi kebersihan dan kesehatan sang bayi.
            Makna aqiqah menurut syari’at Islam adalah menyembelih hewan kambing pada hari ketujuh kelahiran bayi sebagai ungkapan rasa syukur atas kaarunia Allah SWT berupa kelahiran seorang anak.
Hukum Aqiqah
            Hukum aqiqah adalah sunah mu’akadah, artinya sunah yang sangat dianjurkan. Hal inilah yang m,ernjadi paham mayorits ulama.
Sebuah Hadis Rosulullah saw menyatakan. (KULLU GHULAMUN MUMTAHANUN BI ‘AQIQOTIHI”“ Setiap anak tertuntut dengan aqiqahnya.”
Hadis lain riwayat Imam Bukhari  dan Imam Ahmad, mengemukakan bahwa Rosulullah bersabda,” Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka sembelihlah penebus darinya dan bersihkanlah dari kotoran.” (HR Bukhori dan Ahmad).
            Perkataan Nabi saw dnegan kata “sembelihlah” merupakan perintah yang menunjukkan hukum wajib. Namun ada keterangan lain yang memalingkannya dari hukum waji menjadi sunat yaitu keterangan dari Rosulullah yang menyatakan, “Brang siapa di antara kalian ada yang ingin menyembelh atas kelahiran anaknya, maka selakan lakukan.” (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i)

            Ada hadis Rosuluullah yang mengemukakan bahwa anak laki-laki aqiqahnya dua ekor kambang sedangkan anak perempuan satu ekor kambing. Hal ini akan berkaitan erat dengan tanggung jawab sosial seorang laki-laki dan seorang perempuan kelak setelah dewasa.
            Ummu Kurz Al Ka’biyyah berkata, yang artinya: “Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan agar dsembelihkan aqiqah dari anak laki-laki dua ekor domba dan dari anak perempuan satu ekor.” (Hadits sanadnya shahih riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)

Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa aqiqah bagi anak laki-laki sama dengan aqiqah bagi anak perempuan yaitu satu ekor kambing. Hal ini didasarkan kepada riwayat bahwa Rosulullah SAW melakukan aqiqah bagi Hasan dengan satu ekor kambing dan Husein dengan satu ekor kambing juga.

Waktu Pelaksanaannya
            Pelaksanaan aqiqah disunahkan pada hari ketujuh dari kelahiran. Hal ini berdasarkan hadis Rosulullah saw. “ Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ketujuh, dan dia dicukur dan diberi nama.” (HR Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi).

            Apabila tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh,maka bisa pada hari keempat belas, jika masih belum bisa juga, maka pada hari kedua puluh satu (Berdasarkan hadis riwayat Al Baihaqi). Namun jika hari keduapuluh satu masih belum bisa juga, maka bisa dilakukan kapan saja di kala mampu. Bahkan apabila sampai dewasa belum juga disembelihkan aqiqah oleh orang tuanya, ia boleh menyembelih aqiqah dari hasil usahanya sendiri.
           
Pembagian daging aqiqah

            Orang tua bayi  boleh menyedekahkan sebagian atau seluruhnya dan boleh pula memakannya maksimal sepertiganya,  atau memasaknya dan mengudang para tetangga, sahabat, fakir-miskin dan lain-lain untuk bersama-sama menikmatinya.
            Hewan yang disembelih untuk aqiqah persyaratannya sama dengan hewan untuk qurban. DI antara syarat-syarat itu ialah tidak boleh hewan yang terlalu kurus, pincang, atau anggota badannya cacat. Para ulama membolehkan mengganti kambing dengan sapi atau unta, tapi sapi atau unta itu hanya untuk satu orang anak, tidak seperti qurban, di mana seekor sapi atau unta bisa patungan untuk tujuh orang. Tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa aqiqah hanya dengan kambing saja, sesuai dengan dalil-dalil yang datang dari Rosulullah SAW.
            Ada perbedaan dalam pembagian daging qurban dengan aqiqah yaitu kalau daging qurban dibagikan dalam baentuk mentah sedangkan daging  aqiqah boleh dibagikan setelah dimasak terleblih dahulu.

Hikmah Aqiqah

            Syaih Abdullah Nasih ZUlwan peangarang kitab Tarbiyatul Aulad fil Islam mengemukakan hikmah aqiqah sebagai berikut:

1.      Mengikuti dan menghidupkan sunah Rosulullah
2.      Melindungi anak yang terlahir itu dari segala gangguan, sehingga anak yang sudah ditunaikan aqiqahnya Insya Allah taerlindungi dari gangguan syaitan.
3.      Aqiqah merup[akan tebusan hutang si anak untuk dapat memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya kelak di yaumul hisab.
4.      Sebagai bentuk taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah dan  rasa syukur atas kaarunia-Nya berupa kelahiran sang anak.
5.      Mewujudkan kegembiraan dalam melaksanakan syari’at Islam dan bertambahnya keturunan.
6.      Aqiqah mempererat rasa persaudaraan santar sesame muslim.

                        Walaahu A’lam                                                          

Tuesday, September 13, 2011


MENYAMBUT KELULUSAN
Oleh Une Sasmita, S.IP.
(Guru SMP Negeri 4 Kota Sukabumi)

U
jian Nasional bagi siswa SMTP/SMTA yang duduk di kelas akhir, selalu dilaksanakan setiap tahun. Setiap itu pula kita menyaksikan tontonan gratis dari para siswa yang telah selesai mengikuti ujian.  Mereka mengekspresikan kegembiraannya secara over ekspresive. Seperti  mengecat rambut dengan warna mencolok, mencoret-coret pakaian, memoles wajah, ada juga yang kebut-kebutan di jalan, serta tindakan-tindakan  lain yang mengekspresikan diri seolah-olah telah lepas dari sebuah belenggu yang  telah memasung dirinya bertahun-tahun.

Gejala apakah gerangan yang sedang melanda hati kaum remaja  lulusan lembaga pendidikan kita? Kita tidak perlu menuding siapa yang bersalah. Baik menyalahkan lembaga pendidikan atau pun menumpahkan seluruh kesalahan kepada para remaja kita, bukanlah tindakan yang bijak. Bahkan dengan saling menyalahkan, berarti kita telah  membuat masalah baru, sementara masalah yang pokok  tidak tersentuh untuk kita selesaikan. Masyarakat menyalahkan lembaga pendidikan, lembaga pendidikan menyalahkan orang tua siswa, sememtara tindakan anak-anak kita dari tahun ke tahun bukan semakin sembuh.

Lepas dari Segala Ikatan
Secara ideal sekolah adalah tempat mengembangkan potensi fisik dan mental intelektual anak didik melalui pengembangan intelek, keterampilan fisik, dan pembinaan etika. Tiga pilar kegiatan lembaga pendidikan adalah mengajar, melatih dan mendidik. Di sekolah, mereka di ajar agar menjadi cerdas, dilatih agar menjadi trampil, dan dididik agar mengenal nilai-nilai moral untuk diterapkan dalam kehidupannya kini dan masa yang akan datang di tengah pergaulan dengan masyarakat.
2
Di sekolah mereka mulai diperkenalkan dengan  atauran-aturan formal secara tertulis dalam bentuk tata tertib sekolah.  Mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh. Pelanggaran  atas aturan-aturan itu akan berhadapan dengan sangsi-sangsi yang telah ditentukan. Mereka tidak pernah diajak untuk menentukan aturan-aturan itu. Mereka harus masuk belajar pada jam-jam tertentu. Jadwal pelajaran sudah ditentukan, lama belajar sudah ditetapkan sampai ukuran menit, pakaian yang dikenakan harus sesuai  baik warna maupun modelnya. Dengan kata lain mereka tidak memiliki kebebasan untuk  belajar sesuai dengan kesenangannya. Tidak bebas untuk berpakaian sesuai dengan warna atau model yang disenanginya.

Siswa yang  sedang asyik belajar mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minatnya, yang dibimbing oleh guru yang menjadi favoritnya, tiba-tiba bel berbunyi tanda waktu harus berakhir, dan mereka harus berganti dengan pelajaran lain yang tidak sesuai dengan minatnya, dan disampaikan oleh guru yang kurang menyenangkannya.Tapi mereka  dengan terpaksa harus rela untuk mengikuti aturan yang kaku yang dirasakannya sebagai belenggu. Partisipasinya  hanyalah sebagai pendengar yang pasif sambil menunggu-nunggu bel segera berbunyi tanda pelajaran berakhir.
Setiap hari para siswa  duduk di tempat yang sama, bertemu dengan orang yang sama, pekerjaan yang dikerjakannya dari hari ke hari begitu terus-menerus. Sehingga timbul kejenuhan akibat dari keadaan yang monoton. Di dalam kelas, mereka dibatasi dengan dinding yang kaku, di luar kelas mereka dibatasi dengan benteng yang memagari  sekeliling bangunan sekolah, di pintu ke luar dijaga oleh Satpam sekolah. Keadaan ini dirasakannya dalam waktu bertahun-tahun. Karena itu jam pelajaran bebas, merupakan saat yang menyenangkan. Hari libur adalah  hari yang paling menggembirakan. Mereka lebih senang berhadapan dengan hari Sabtu daripada   berhadapan dengan   hari Senin.    Hari Sabtu adalah hari yang ditung
3
tunggu karena besoknya hari Minggu adalah hari libur. Sementara hari Senin adalah hari yang harus berhadapan dengan berbagai kegiatan rutin.  Sebuah ironi yang mengeritik tipe remaja kita,  konon  anak-anak Jepang tertawa di hari Senin dan menangis di hari Sabtu. Sementara anak-anak kita tertawa di hari Sabtu dan menangis di hari Senin. Ungkapan ironis ini sangat sarat dengan gambaran etos kerja remaja kita.

Ujian akhir merupakan pintu terakhir dari ruang-ruang yang selalu membelenggu dan “memenjarakan” mereka. Juga ujian akhir merupakan pintu pertama untuk memasuki alam kebebasan, di mana mereka tidak akan berhadapan lagi dengan aturan-aturan yang memasung kebebasan bergerak dan berekspresi,   seolah-olah mereka akan memasuki jalan kehidupan yang  bebas hambatan. Sehingga tatkala ujian berakhir, apalagi setelah dinyatakan lulus, maka benteng penghalang itu menjadi ambruk dan terjadilah luapan emosi yang  seakan-akan tidak ada orang lain yang  bisa meredamnya.

Pendidikan Otak dan Hati

Kita terlalu banyak mengarahkan anak-anak  untuk menjadi manusia yang cerdas dan telah mengabaikan pembinaan budi pekerti untuk membentuk  anak-anak  agar menjadi manusia yang berakhlak mulia. Kita lebih menerapkan pendidikan yang hanya mengarah kepada  otak dari pada hati, yang akhirnya akan melahirkan manusia-manusia yang cerdas tapi egois, keras kepala, kurang peka terhadap penderitaan sesama. Bahkan mengeksploitasi sesama untuk kepentingan ego dan ambisi pribadinya. Sesuatu akan dianggapnya benar, kalau menguntungkan dan menyenangkan dirinya. Hedonisme telah merasuki jiwa. Agama yang menetapkan haram dan halal, tidak lagi dihiraukan karena hanya akan membatasi kesenangannya.


4
Untuk menyelamatkan generasi penerus yang kita cintai  ini, kita perlu menerapkan sistem pendidikan yang    dapat mengolah   raga, mengolah karsa, dan
mengolah rasa secara seimbang. Yakni membina insan-insan yang memiliki kesehatan jasmani dan rohani, insan yang aktif dan kreatif, serta memiliki keseimbangan antara kecerdasan intelek, dan kecerdasan emosi

Hanya dari pribadi-pribadi yang memiliki kercerdasan emosi yang tinggilah,  akan timbul pemikiran, “Tidakkah lebih terpuji kalau pakaian seragam para alumni itu aku himpun untuk disumbangkan kepada sesama  kita yang masih kesulitan untuk membeli baju seragam sekolah, daripada dicoret-coret hanya untuk kesenangan sesaat?”   “Tidakkah akan lebih terpuji, jika kebahagiaanku itu dimanifestasikan dalam bentuk bersyukur kepada Yang Maha Pencipta agar bertambah-tambah nikmat dan kebahagiaan itu kepadaku?”

Itulah generasi dambaan hati yang selalu kita rindukan dan harus  segera kita wujudkan melalui tindakan nyata untuk menyelamatkan generasi penerus kita. Semoga Allah menerangi jalan kita semua!

                                                (Dimuat  HU Pikiran Rakyat 4 Juli 2005)


Saturday, September 10, 2011

DZIKIR, PIKIR DAN SYUKUR


DZIKIR, PIKIR, DAN SYUKUR
SEBAGAI SARANA MEMPERTEGUH IMAN

MUKADDIMAH

M
anusia adalah makhluk Allah yang dikaruniai akal sebagai perangkat yang sangat penting dalam rangka pemanfaatan alam. Sebagai makhluk pemilik akal, manusia dalam Al Qur’an disebut  dengan sebutan “ulil albab” yang artinya pemilik akal, pemilik pikiran, pemilik  pengertian, atau pemilik  kebijaksanaan.

            Dalam surat Ali Imran ayat 190 dan 191 Allah berfirman:
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ  
            Artinya:
  Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi(seraya berkata), “Ya Allah kami, tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia,Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka”.

Ciri-ciri orang  yang berakal, atau yang disebut oleh Allah dengan “ulil albab” yaitu :
1. Selalu dzikir (ingat) kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi.
2. Selalu memikirkan tentang penciptaan makhluk yang ada di langit dan di bumi.
3. Selalu bersyukur sebagai manipestasi dari kesadaran atas keagungan Maha Pencipta.

A. DZIKIR

Menurut bahasa, dzikir artinya ingat. Dalam hal ini ingat kepada Allah SWT. Dalam bentuk lisan, dzikir adalah mengucapkan “Laa Ilaaha illAllah” (Tidak ada
tuhan selain Allah). Namun pernyataan lisan saja tidak ada artinya kalau tidak diikuti dengan amal perbuatan yang sesuai dengan makna pernyataan yang diucapkan.

       Dalam pengertian yang seluas-luasnya, dzikir adalah memperhatikan kejadian alam sehingga akhirnya menyadari bahwa seluruh makhluk itu diciptakan oleh Al Kholik untuk dimanfaatkan oleh manusia dalam rangka pengabdian kepada-Nya.

Dzikir itu laksana tali yang menghubungkan antara diri kita dengan Al Kholik. Jika tali itu terputus maka hidup ini akan kehilangan kendali bagaikan layang-layang putus tali yang hanya bergerak mengikuti arah angin.

       Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 152:
           þÎTrãä.øŒ$$sù öNä.öä.øŒr& (#rãà6ô©$#ur Í< Ÿwur Èbrãàÿõ3s? ÇÊÎËÈ  
                                           Artinya:
       Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.

       Dalam sebuah hadis Qudsi Rosulullah bersabda
قال الله تبارك وتعالی وإذا تقرب مني شبرا تقربت ذراعا       
       Artinya:
       Telah berfirman Allah Yang Maha Suci dan Maha Luhur, “Apabila ia mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku-pun mendekat kepadanya sehasta”. (Hadis Riwayat Bukhori dan Muslim)

       Allah itu Maha Mulia, maka alangkah terhormatnya orang yang selalu diingat oleh Allah Yang Maha Mulia. Diingat oleh Allah itu artinya senantiasa mendapatkan rahmat-Nya tanpa terputus.
  
 Dzikir atau ingat kepada Allah itu merupakan urusan hati yang indikatornya bisa terlihat dari amal perbuatan yang ditampakkannya.

       Allah berfirman dalam surat Al A’rof ayat 205:
ä.øŒ$#ur š­/§ Îû šÅ¡øÿtR %YæŽ|Øn@ ZpxÿÅzur tbrߊur ̍ôgyfø9$# z`ÏB ÉAöqs)ø9$# Íirßäóø9$$Î/ ÉA$|¹Fy$#ur Ÿwur `ä3s? z`ÏiB tû,Î#Ïÿ»tóø9$# ÇËÉÎÈ  

       Artinya:
       Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang lalai.

B. P I K I R

       Manusia berpikir dengan menggunakan potensi akal sehat yang dimilikinya.
Produk berpikir adalah berupa ilmu pengetahuan, dan dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya manusia akan ma’rifat kepada Allah, jika dikehendaki-Nya.
      
       Itulah sebabnya banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menganjurkan kepada manusia agar berpikir dengan akalnya. Allah sangat menghargai kepada orang-orang yang mau berpikir.
 Rosulullah s.a.w. bersabda:
تفکرا ساعة خير من عباد ة سنة ( رواه إبن حبان )                               
       Artinya:
                               Berpikir sesaat itu lebi baik daripada beribadah setahun (Riwayat Ibnu Hibban).
       Allah berfirman dalam surat Al Mujadalah (58) ayat 11:
( Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4
Artinya:

       Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berlimu pengetahuan dengan beberapa derajat.

       Yang menjadi obyek berpikir adalah makhluk ciptaan Allah karena akal manusia
tidak  mungkin memikirkan dzat Allah sebab Ia berada di luar jangkauan akal  serta tidak mungkin bisa dianalisis secara empiri oleh pemikiran manusia.

       Rosulullah bersabda:
  تفكروا في خلق الله ولا تفكروا فى الله  ( رواه البيهقی )
       Artinya:
       Berpikirlah kamu tentang makhluk ciptaan Allah dan janganlah kamu berpikir tentang dzat Allah. (Riwayat Abu Na’im dan Baihaki).

       Tanda-tanda kebesaran Allah bisa terlihat pada alam semesta dan pada diri kita

 Firman Allah dalam suarat Fusshilat (41) ayat 53:

óOÎgƒÎŽã\y $uZÏF»tƒ#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky­ ÇÎÌÈ  

       Artinya:
       Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelas bagi mereka bahwa Al Qur’an itu benar.

       Allah menganjurkan agar manusia mulai berpikir dari obyek yang paling dekat yaitu dirinya sendiri kemudian benda-benda yang ada di sekitarnya akhirnya sampai kepada pemikiran yang menyeluruh terhadap seluruh alam semesta.


C. SYUKUR

       Berpikir merupakan  proses perenungan terhadap ciptaan Allah, sedangkan bersyukur   adalah memanfaatkan    segala ciptaan Allah itu sesuai  dengan
kehendak Pencipta-Nya. Semua karunia Allah itu perlu diolah dengan akal manusia agar kenikmatannya bisa bertambah.
     
 Dalam kaitan itulah Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 :
ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyƒÎV{ ( ûÈõs9ur ÷LänöxÿŸ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓƒÏt±s9 ÇÐÈ  

Artinya:
       Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu dan jika kamu ,mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.(Surat 14:7).

       Ayat-ayat mengenai syukur dalam Al Qur’an bisa ditemukan lebih dari 60 ayat di antaranya An Nisa (4): 147; Luqman (31): 12; An Nahl (16): 114 dan sebagainya.

       Seseorang belum disebut bersyukur kepada Allah, kalau kenikmatan yang diperolehnya itu belum dimanfaatkan untuk sesuatu yang diridoi Allah. Jadi apabila nikmat yang diberikan Allah itu digunakan untuk sesuatu tindakan yang dibenci oleh Allah atau dengan kata lain untuk maksiat kepada-Nya,maka orang demikian berarti mengingkari kenikmatan itu sendiri yang dalam terminologi Islam disebut dengan kufur nikmat.

       Kalau kenikmatan itu berupa harta kekayaan maka hartanya akan dibelanjakan di jalan Allah. Kalau kenikmatan itu berupa ilmu maka ilmunya akan diamalkan untuk kemaslahatan dirinya dan manusia di sekitarnya. Dan kalau kenikmatan itu berupa pangkat dan kedudukan, maka kedudukan itu akan dimanfaatkan sebagai medan beramal salih dalam rangka pengabdian kepada Allah.

       Sungguh banyak karunia Allah yang telah diberikan kepada kita. Dan sungguh banyak pula nikmat Allah yang belum tersyukuri.

Firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 34:
4 bÎ)ur (#rãès? |MyJ÷èÏR «!$# Ÿw !$ydqÝÁøtéB 3 ž  

       Artinya:
       Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu untuk
menghitungnya. (Surat Ibrahum ayat 34).

       Dalam surat Luqman ayat 27 Allah berfirman:
öqs9ur $yJ¯Rr& Îû ÇÚöF{$# `ÏB >otyfx© ÒO»n=ø%r& ãóst7ø9$#ur ¼çnßJtƒ .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ èpyèö7y 9çtø2r& $¨B ôNyÏÿtR àM»yJÎ=x. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÌtã ÒOŠÅ3ym ÇËÐÈ  

       Artinya:
       Dan seandainya pohon-pohon di muka bumi dijadikan pena dan lautan dijadikan tinta dan setelah kering kemudian ditambahkan lagi tujuh lautan, niscaya tidak akan cukup untuk menuliskan karunia Allah. (Luqman ayat 31)

KHATIMAH

       Dzikir, pikir, dan syukur merupakan trilogi yang saling berkait erat dan tidak bisa terpisahkan satu sama lain. Orang yang berdzikir pasti akan berpikir dan bersyukur. Sebaliknya pula orang yang tidak pernah berdzikir – tidak pernah ingat kepada Allah – tidak mungkin mau berpikir tentang kebesaran Allah dan tidak pula akan bersyukur atas segala karunia-Nya.

       Orang yang selalu ingat kepada Allah, pasti akan senantiasa menjaga segala perbuatannya dari tindakan-tindakan yang tidak diridoi-Nya. Dia akan memanfaatkan seluruh potensi dirinya, baik raga maupun jiwanya, untuk melasanakan ketaatan kepada Allah. Di kala ia mendapat kenikmatan, ia akan bersyukur dan di kala mendapat musibah ia akan bersabar.

       Bagaimana agar kita bisa mensyukuri nikmat Allah yang ada pada diri kita? Kita akan dapat mensyukuri nikmat, kalau nikmat yang kita miliki itu kita perbandingkan dengan nikmat yang lebih rendah yang ada pada orang lain.  Misalnya, kesehatan yang kita miliki, baru bisa kita sadar bahwa itu merupakan nikmat yang harus disyukuri, kalau kita perbandingkan dengan perasaan orang yang terganggu kesehatannya. Orang yang sakit matanya sebelah, masih akan bersyukur kalau ia perbandingkan dengan orang yang sakit kedua belah matanya.

Apabila karunia Allah yang ada pada kita diperbandingkan dengan karunia yang diberikan Allah kepada orang lain yang secara kuantitas dan kualitas lebih tinggi, maka kita akan merasakan bahwa karunia Allah pada diri kita selalu terasa sedikit jumlahnya. Hal inilah yang membuat kita lupa mensyukuri nikmat yang telah ada.

            Dalam hubungan itulah Rosulullah telah berpesan:
انظر إلى من هو اسفل منکم ولا تنظر إلی من هو فوقکم فهو ٱجدر ٱن لاتزدروا نعمة الله عليکم )رواه البخاري ومسلم )
           
Artinya:
 Pandanglah kepada orang yang lebih rendah daripada kamu, dan janganlah selalu memandang kepada orang yang di atas kamu, agar kamu tidak memandang kecil terhadap nikmat Allah atasmu. (Riwayat Bukhori dan Muslim).

       Dalam hal anugerah Allah yang diberikan kepada kita, hendaknya tidak kita perbandingkan dengan anugerah Allah yang ada pada orang lain yang mungkin lebih besar dan lebih banyak jumlahnya. Karena kalau anugerah Allah itu kita bandingkan dengan yang ada pada orang lain yang lebih besar, maka kita merasa belum mendapatkan apa-apa. Kita akan selalu merasa kekurangan, sehingga kita lupa mensykuri anugerah yang sudah ada pada diri kita. Demikian pula seandainya kita melakukan sesuatu kesalahan, janganlah diperbandingkan dengan kesalahan orang lain yang lebih besar, tapi bandingkanlah dengan kesalahan orang yang lebih kecil. Kalau kesalahan itu kita perbandingkan dengan yang lebih besar, maka kita merasa seolah-olah kesalahan kita itu tidak berarti apa-apa, sehingga kita tidak memiliki niat untuk memperbaiki diri .

                                    Mudah-mudahan Allah menggabungkan kita dengan orang-orang yang senantiasa mesyukuri nikmat-Nya.

اللهم ٱعني على ذكرك وشكرك وحسن عباد تك ٠
ربي اوزعني ٱن ٱشكر نعمتك التي ٱنعمت علي وعلى والدي وٱن ٱعمل صالحا ترضاه وٱدخلني برحمتك في عبادك الصالحين ٠
ٱمين يامجيب السائلين  يا غفور الرحيم ٭