Tuesday, December 31, 2013

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM MEMPERINGATI HARI RABU WEKASAN


Di antara anggapan dan keyakinan keliru yang terjadi di bulan Shafar adalah adanya sebuah hari yang diistilahkan dengan Rebo Wekasan. Dalam bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ artinya terakhir. Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan Shafar (diperkirakan pada bulan Shafar tahun ini (1431 H) bertepatan dengan tanggal 10 Februari 2010). Di sebagian daerah, hari ini juga dikenal dengan hari Rabu Pungkasan.
Apakah Rebo Wekasan itu?
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa setiap tahun akan turun 320.000 bala’, musibah, ataupun bencana (dalam referensi lain 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya), dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Sehingga dalam upaya tolak bala’ darinya, diadakanlah ritual-ritual tertentu pada hari itu. Di antara ritual tersebut adalah dengan mengerjakan shalat empat raka’at -yang diistilahkan dengan shalat sunnah lidaf’il bala’ (shalat sunnah untuk menolak bala’)- yang dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah shalat isyraq (setelah terbit matahari) dengan satu kali salam. Pada setiap raka’at membaca surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 50 kali (dalam referensi lain 5 kali), Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan surat An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam membaca sebanyak 360 kali ayat ke-21 dari surat Yusuf yang berbunyi:
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Ritual ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedekah roti kepada fakir miskin. Tidak cukup sampai di situ, dia juga harus membuat rajah-rajah dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat penampungan air lainnya.
Barangsiapa yang pada hari itu melakukan ritual tersebut, maka dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun ketika itu.
Kaum muslimin rahimakumullah, dari mana dan siapakah yang mengajarkan tata cara / ritual ‘ibadah’ seperti itu?
Dalam sebagian referensi disebutkan bahwa di dalam kitab Kanzun Najah karangan Syaikh Abdul Hamid Kudus yang katanya pernah mengajar di Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah, diterangkan bahwa telah berkata sebagian ulama ‘arifin dari ahli mukasyafah[1] bahwa pada setiap tahun akan turun 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya, yang turunnya pada setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar. Bagi yang shalat pada hari itu dengan tata cara sebagaimana tersebut di atas, maka akan selamat dari semua bencana dan bahaya tersebut.
Mungkin inilah yang dijadikan dasar hukum tentang ‘disyari’atkannya’ ritual di hari Rebo Wekasan tersebut. Namun ternyata amaliyah yang demikian tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Generasi salaf dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in tidak pernah melakukan apalagi mengajarkan ritual semacam itu. Demikian pula generasi setelahnya yang senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik.
Keyakinan tentang Rebo Wekasan sebagai hari turunnya bala’ dan musibah adalah keyakinan yang batil. Lebih batil lagi karena berangkat dari keyakinan tersebut, dilaksanakanlah ritual tertentu untuk menolak bala’ dengan tata cara yang disebutkan di atas. Sementara keyakinan dan ritual tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan tidak pula dicontohkan oleh para imam madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), tidak pula mereka membimbing dan mengajak para murid serta pengikut madzhabnya untuk melakukan yang demikian.
Para ulama dan kaum muslimin yang senantiasa menjaga aqidah dan berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hingga hari ini -sampai akhir zaman nanti- juga tidak akan berkeyakinan dengan keyakinan seperti ini dan tidak pula beramal dengan amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salaf tersebut.
Jika keyakinan dan ritual ibadah tersebut tidak berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula sebagai amalan para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam madzhab yang empat, maka sungguh amalan tersebut bukan bagian dari agama yang murni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan dan petunjuk kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).
Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa menjaga kita dan kaum muslimin dari berbagai penyimpangan dalam menjalankan agama ini. Amin.
Ditulis oleh Abu ‘Abdillah Kediri.
[1] Istilah ulama ‘arifin (secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang mengetahui) dan ahli mukasyafah (secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang bisa menyingkap) inipun juga tidak dikenal di kalangan salaf. Istilah ini dikenal di kalangan penganut paham shufiyyah sebagai penamaan bagi orang-orang ‘khusus’ yang mengerti sesuatu tanpa melalui proses belajar, dalam bahasa jawa disebut ngerti sakdurunge winarah. Mereka -yakni ulama ‘arifin dan ahli mukasyafah itu- juga diyakini bisa bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahkan bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala di dunia maya, sehingga mereka bisa menyingkap sesuatu (dari perkara ghaib) yang tidak bisa diketahui oleh selain mereka.
Ini semua tentunya adalah keyakinan yang batil, dan pembahasan seperti ini sangatlah panjang. Yang penting bagi kita adalah berupaya menjalankan agama ini -beraqidah, beribadah, berakhlak, bermu’amalah, dan lainnya dari urusan diniyyah- benar-benar bersumber dan sesuai dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-salafus shalih, bukan pemahaman selain mereka. Wallahu a’lam. (tERSERAh anda)

Wednesday, February 20, 2013

SUMBER HUKUM ISLAM

Sumber hukum sekaligus sebagai sumber nilai dalam Islam yang harus dijadikanlandasan dalam mengambil berbagai keputusan, terlukis dalam kisah berikut ini.
Tatkala Rosulullah s.a.w. mengurus Mu'adz bi Jabal untuk menjadi seorang gubernur di Yaman, maka untuk emnguji kompetensi sang calon gubernurnya, Rosul memberikanpertanyaan kepada Mu'dz, "Dengan pedoman apa, engkau memutuskan suatu perkara?"
Jawab Mu'adz, "Dengan Kitabullah
Tanya Rosul, "Kalau tidak engkau temukan dalam Kitabullah (Al Qur'an)"
Jawab Mu'adz, Dengan Sunnah Rosulullah,"
Tanya Rosu, "Kalau dalam Sunah juga tidak engkau temukan."
Jawab Mu'adz, "Saya berijtihad dengan pikiran saya."
"Mahasuci Allah yang telah memberikan bimbingan kepada utusan Rosul-Nya, dengan satu sikap yang disetujui Rosul-Nya," sabda Rosulullah (Hadits Riwayat Abu Dawud dan Turmudzi).

Dari kejadian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sumber nilai dan sumber hukum dalam Islam adalah:
1) Kitabullah yaitu Al Qur'an
2) Sunnah Rosulullah atau hadits
3) Ijtihad yaitu berusaha keras dan sungguh-sungguh untuk menetapkan suatu keputusan yang tidak tercantum secara jelas dalam Al Qur'an atau pun Haditss.
 Urutan ini menunjukkan kepada tingkatan yang tidak boleh ditukar-tukar. Misalnya kalau hasil ijtihad seorang ulama itu ternyata bertentngan dengan hadis yang sohih maka hadis sohih itu yang diambil. Kalau sebuah hadis bertentagan dengan ayat Al Qur'an maka ayat Al Qur'an yang harus diambil

Kita bisa membadingkan dengan tata hukum di negeri kita. Kalau sebuah keputusan presiden bertebtabgab dengan undang-undang, maka keputusan presiden kita tinggalkan dan kita ambil undang-undang. Kalau undang-undang bertentangan dengan konstitusi, maka konstitusi yang kita pegang. Jika konstitusi bertentangan dengan Pancasila maka konnsstitusi kita tinggalkan dan Pancasila kita ambil. Kira-kira begitulah.
Wallahu a'lam.

ISLAM ANTI KEKERASAN

Islam sebagaimana agama lainnya adalah anti kekerasan. Sebuah stigma yang diberikan seperti Islam galak, Islam garis keras dan lain-lain, seharusnya  konotasinya bukan kepada Islamnya melainkan kepada penganutnya. Bukan hanya penganut Islam yang bisa berlaku keras. Kita melihat pula kekerasan pada penganut agama lain. Lihat di Rohingya, di Bosnia,  malah ummat Islam menjadi korban kekerasan.

Al Qur'an sudah memberikan pernyataan yang jelas, "Tidak ada paksaan dalam agama." (Al Baqoroh 256).
Manusia tida perlu dipaksa-paksa untuk menjadi seorang muslim, sebab mau kafir atau mau muslim, Alah tidak akan rugi. Alah akan tetap menjadi Tuhan sememsta alam (Robbul 'aalamiin)

Firman Allah:

walaw syaa-a rabbuka laaamana man fii al-ardhi kulluhum jamii'an afa-anta tukrihu alnnaasa hattaa yakuunuu mu/miniin
99. Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
 Kalau pun orang Islam mau mengajak orang lain untuk menjadi seorang muslim, ALlah sudah memberikan pedoman yang jelas, dalam surat An Nahl ayat 125:

ud'u ilaa sabiili rabbika bialhikmati waalmaw'izhati alhasanati wajaadilhum biallatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a'lamu biman dhalla 'an sabiilihi wahuwa a'lamu bialmuhtadiina 
125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah [845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

[845] Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

Manusia yang dida'wahi itu disentuh hatinya, bukan disentuh fisiknya, sebab hati nurani manusia itu akan senantiassa tertarik kepada kebaikan, kepada hal-hal yang ma'ruf. Tunjukkan dan buktikan bahwa Islam itu adalah suatu kebaikan.

Kekerasan itu terjadi bukan karena ajaran agamanya yang melegalkan kekerasan, melainkan manusia penganutnya yang bertidandak keras manakala kepentingan-kepentingannya terganggu oleh pihak lain. Kepentinganitu bisa berupa kepentingan politik, kepentingan ekonomi dan lain sebagainya. Siapa pun, penganut agama apa pun, kalau hal itu terusik, maka dia akan berontak membela hak dan keyakinannya.

Wallau a'lam
 



Monday, February 18, 2013

HATI ITU BAGAIKAN CERMIN

Imam Algozali mengumpamakan hati itu bagaikan cermin.
 Kalau cermin bersih dan bening maka akan mudah menerima cahaya dan memantulkannya kembali ke sekitarnya. Tapi kalau ia kotor maka akan gelap dan tidak bisa menerima cahaya dari luar. Kira-kira demikian pula hati kita. Di kala hati kita bersih, kita akan  mudah menerima hidayah dan nasihat yang akan membawa kepada keselamatan  dan ketenangan baatin. Sebaliknya kalau hati kita kotor maka kita akan sulit menerima segala bentuk kebenaran. Karena itu Allah berfirman dalam surat As Syams:


[91:9] sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,

[91:10] dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Yang membuat jiwa kita kotor adalah penyakit hati seperti iri, dengki, hasud, rakus, takabur, dan sebagainya. 
 Rosulullah s.a.w bersabda, "Jauhilah olehmu sifat dengki, karena kedengkian itu bisa melumatkan kebaikan sebagaimana api melumatkan kayu bakar".
Segala penyakit hati itu bisa sirna dengan senantiasa "dzikrullah" yakni  mengingat SWT. Dzikrullah dalam arti sempit adalah mengucapkan LAA ILAAHA ILALLAH sedangkan dzikir dalam arti yang luas adalah senantiasa menjaga diri dari segala perbuatan makshiat karena meyakini bahwa segala amal perbuatan itu selalu diawasi oleh Allah SWT.

Firman ALlah dalam  Surat Ar Ro'du ayat 28:


alladziina aamanuu watathma-innu quluubuhum bidzikri allaahi alaa bidzikri allaahi tathma-innu alquluubu 
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.










Sikap selalu mengingat Allah berarti akan senantiasa menjaga diri dari segala dosa dankemaksiyatan. Itulah sebabnya hati akan menjadi tentram. Lain halnya dengan orang yang berbuat dosa dan kemaksiyatan, maka hatinya tidak akan berada dalam ketenangan. Selalu merasa dikejar-kejar oleh dosanya sendiri.

baarokallaahu lii walakum